mouse

Multicursor - Busy

Sabtu, 20 Desember 2014

PEMAHAMAN INDIVIDU BEHAVIORISTIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, dewasa ini semua manusia terus belajar sepanjang hidupnya. Hampir semua pengetahuan, sikap, keterampilan, dan perilaku manusia dibentuk, diubah, dan berkembang melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar juga dapat terjadi kapan saja, dan di mana saja.
Belajar merupakan suatu kegiatan berproses. Proses pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatannya adalah pendekatan behaviorisme. Menurut teori behavioral, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Lebih tepatnya, belajar adalah perubahan yang dialami seseorang dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap belajar apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
Pendekatan behavorisme memiliki pandangan atau prinsip yang dikembangkan oleh beberapa tokoh behaviorisme. Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini, termasuk bagaimana menggunakan prinsip-prinsip tingkah laku tersebut untuk mengubah atau memodifikasi perilaku dan menerapkannya dalam pembelajaran.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari teori behaviorisme?
2.      Bagaimana pemahaman menurut behaviorisme?
3.      Bagaimana penerapan teori behaviorisme terhadap pemahaman individu?
C.       Tujuan Masalah
1.      Untuk mendeskripsikan asumsi dasar dari teori behaviorisme
2.      Untuk mendeskripsikan pemahaman menurut behaviorisme
3.      Untuk mendeskripsikan penerapan teori behaviorisme terhadap pemahaman individu


  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teori Behaviorisme
  Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respon pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.[1]
Behaviorisme ini lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar dan tidak tampak). Behaviorisme ini hanya menganalisis perilaku yang tampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan menurut teori kaum behaviorisme lebih  dikenal dengan nama teori belajar karena menurut mereka seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar.
Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh factor factor lingkungan. Dari sinilah timbul manusia mesin (Homo Mechanicus).
Behaviorisme amat banyak menentukan perkembangan psikologi seseorang, terutama dalam ekspriment-ekspriment. Dan aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, ibaratkan sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman.
Dan pada behaviorisme ini berpendirian bahwa organism dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; dan perilaku adalah hasil pengalaman dan yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Dan asumsi ini ditambah oleh sumbangan biologis abad XIX: bahwa manusia itu hanya kelanjutan dari organime yang lebih rendah.
Karena dapat memahami manusia dengan peneliti perilaku organism yang bukan manusia. Misalnya: kita dapat mengamati teori belajar dengan mengamat bagaimana tikus belajar tidak sedikit orang yang  benci menyebut behaviorisme sebagai tikus.[2]
B.     Pemahaman Menurut Behaviorisme
Menurut Watson, Skinner dan tokoh Behaviorisme lainnya (1904-1990) mereka meyakini bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis dan pengaruh lingkungan atau situasional. Behaviorisme melihat kita sebagai hasil pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi tingkah laku kita. Menurut teori behaviorisme, manusia sepenuhnya adalah makhluk kreatif, yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang berasal dari luar. Faktor lingkungan inilah yang menjadi penentu terpenting dari tingkah laku manusia. Berdasarkan pemahaman ini, maka kepribadian individu menurut teori ini dapat dikembalikan kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Manusi datang ke dunia ini tidak dengan membawa cirri-ciri yang pada dasarnya” baik atau buruk”, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian individu selanjutnya semata-mata bergantung pada lingkungannya.
Menurut teori ini, orang terlibat di dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah-hadiah orang menghentikan suatu tingkah laku, mungkin karena tingkah laku tersebut belum diberi hadiah atau telah mendapat hukuman. Semua tingkah laku, baik bermanfaat ataupun merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari.
Gagasan utama dalam behaviorisme ini adalah bahwa untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan pendekatan  yang objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dengan perkataan lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang tampak, bukan dengan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh.
Behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan. Behaviorisme menjelaskan mekanisme proses terjadi dan berlangsungnya perilaku individu dapat digambarkan dalam bagan berikut:[3]
S > R atau S > O > R
S = stimulus (rangsangan); R = Respons (perilaku, aktivitas) dan O=organisme (individu/manusia).
Karena stimulus datang dari lingkungan (W = world) dan R juga ditujukan kepadanya, maka mekanisme terjadi dan berlangsungnya dapat dilengkapkan seperti tampak dalam bagan berikut ini :
W > S > O > R > W
Yang dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu :
1.                        Lingkungan objektif (umgebung=segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan secara potensial dapat melahirkan S).
2.                        Lingkungan efektif (umwelt=segala sesuatu yang aktual merangsang organisme karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada diri organism dan ia meresponsnya)
Perilaku yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan di atas biasa disebut dengan perilaku spontan.
Contoh : seorang mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang terasa panas, secara spontan mahasiswa tersebut mengipas-ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.
Ruangan kelas yang panas merupakan lingkungan (W) dan menjadi stimulus (S) bagi mahasiswa tersebut (O), secara spontan mengipaskan-ngipaskan buku merupakan respons (R) yang dilakukan mahasiswa. Merasakan ruangan tidak terasa gerah (W) setelah mengipas-ngipaskan buku.
Sedangkan perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut:
W > S > Ow > R > W
Contoh : ketika sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang terasa agak gelap karena waktu sudah sore hari ditambah cuaca mendung, ada seorang mahasiswa yang sadar kemudian dia berjalan ke depan dan meminta ijin kepada dosen untuk menyalakan lampu neon yang ada di ruangan kelas, sehingga di kelas terasa terang dan mahasiswa lebih nyaman dalam mengikuti perkuliahan.
Ruangan kelas yang gelap, waktu sore hari, dan cuaca mendung merupakan lingkungan (W), ada mahasiswa yang sadar akan keadaan di sekelilingnya (Ow), –meski di ruangan kelas terdapat banyak mahasiswa namun mereka mungkin tidak menyadari terhadap keadaan sekelilingnya–. berjalan ke depan, meminta ijin ke dosen, dan menyalakan lampu merupakan respons yang dilakukan oleh mahasiswa yang sadar tersebut (R), suasana kelas menjadi terang dan mahasiswa menjadi lebih menyaman dalam mengikuti perkuliahan merupakan (W).
Sebenarnya, masih ada dua unsur penting lainnya dalam diri setiap individu yang mempengaruhi efektivitas mekanisme proses perilaku yaitu receptors (panca indera sebagai alat penerima stimulus) dan effectors (syaraf, otot dan sebagainya yang merupakan pelaksana gerak R).
Dengan mengambil contoh perilaku sadar tadi, mahasiswa yang sadar (Ow) mungkin merasakan penglihatannya (receptor) menjadi tidak jelas, sehingga tulisan dosen di papan tulis tidak terbaca dengan baik. Menggerakkan kaki menuju ke depan, mengucapkan minta izin kepada dosen, tangan menekan saklar lampu merupakan effector.
C.    Penerapan Teori Behaviorisme Terhadap Pemahaman Individu
Hakikat dari teori Behaviorisme ialah bagaimana individu menjadi tingkah laku baru, menjadi lebih trampil, menjadi lebih tau. Kehidupaan terus menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru, dan organisme harus belajar merespon situasi baru itu memakai respon lama atau memakai respon yang baru dipelajari. Cara yang efektif untuk merubah dan mengontrol tingkah laku dengan melakukan hal sebagai berikut:[4]
1.                  Classical Conditioning (Pengkondisian Klasik). Classical Conditioning dipopulerkan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936). Istilah ini sering juga disebut dengan “Respondent Conditioning” atau “Pavlovian Conditioning”. Classical Conditioning adalah tipe pembelajaran dimana seseorang belajar untuk mengkaitkan atau mengasosiasikan stimulus (Santrock, 2007).  Pavlov mengemukakan beberapa prinsip dalam classical conditioning, yaitu: A) Generalisasi. Generalisasi adalah kecendrungan dari stimulus baru yang mirip dengan CS untuk menghasilkan respon yang sama. Ada 2 fakta generalisasi yang perlu diperhatikan (Elliot, 1999): a. Setelah pengkondisian terhadap stimulus, terjadi keefektifan dan tidak terbatas pada stimulus itu saja. b. Ketika suatu stimulus menjadi kurang mirip dengan yang digunakan pada awalnya, maka kemampuan untuk menghasilkan respon akan berkurang. B) Diskriminasi. Diskriminasi yaitu peresponan terhadap stimulus tertentu tetapi tidak merespon stimulus lainnya. Dalam eksperimen Pavlov, Pavlov memberi makan anjing setelah bel berbunyi dan tidak memberi makan setelah membunyikan suara lainnya. Akibatnya anjing hanya merespon suara bel. C) Pelenyapan (extinction).Dalam classical conditioning, pelenyapan berarti pelemahan Conditioned Response (CR) karena tidak adanya Conditioned Stimulus (CS) (Santrock, 2007). Dalam eksperimennya, Pavlov mendapati bahwa dengan memperdengarkan bunyi bel saja (tanpa makanan) anjing tidak lagi mengeluarkan air liur.
2.                  Operant Conditioning (Pengkondisian Operan).Operant Conditioning dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904 – 1990). Operant Conditioning dinamakan juga Instrumental Conditioning. Pemikiran Skinner awalnya didasarkan dari pandangan E.L Thorndike. Eksperimen Thorndike adalah Prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme belajar dengan cara mencoba-coba (trial and error). Thorndike juga berpendapat bahwa belajar terjadi secara perlahan, bukan secara tiba-tiba. Belajar terjadi secara incremental (bertahap), bukan secara insightful (Hergenhahn & Olson, 1997). Jika organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serangkaian tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Individu mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan tingkah laku tertentu. Proses belajar yang mengikuti prinsip trial-error ini, ada beberapa hukum yang dikemukakan Thorndike (Hergenhahn & Olson, 1997) : 1. Hukum efek (The Law of Effect). Intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Apabila akibat hubungan S-R menyenangkan, maka perilaku akan diperkuat. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R tidak menyenangkan, maka perilaku akan melemah. Namun, Thorndike merevisi hukum ini setelah tahun 1930. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilaku (Elliot, 1999). Dengan kata lain, reward akan meningkatkan perilaku, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilaku.
2.  Hukum latihan (The Law of Exercise). Pada awalnya, hukum ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Dan Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang. Akan tetapi, setelah tahun 1930, Thorndike mencabut hukum ini. Thorndike menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan reinforcement. Latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya (Elliot,1999).
3. Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Thorndike berpendapat bahwa pada prinsipnya suatu hal akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya (Leffrancois, 2000). Jika individu dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka individu akan merasa puas. Sebaliknya, jika individu dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka individu akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi (Hergenhahn & Olson, 1997).
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pengkondisian operan. Operant Conditioning adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi (Santrock, 2007). Operant Conditioning juga memiliki beberapa prinsip, yaitu :[5]
1.                  Reinforcement (penguat atau imbalan). Reinforcement adalah konsekuensi yang akan meningkatkan probabilitas suatu perilaku terjadi lagi (McCown, Drescol, & Roop, 1996). Ada dua bentuk reinforcement :
a. Reinforcement positive (reward), yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang menyenangkan.
b. Reinforcement negative, yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Reinforcement, baik positif maupun negatif, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (McCown, dkk., 1996) :
a) Primary reinforcement, yaitu stimulus yang berupa pemenuhan kebutuhan biologis yang sifatnya tanpa perlu dipelajari.
b) Secondary reinforcement, yaitu stimulus yang bukan pemenuhan biologis yang sifatnya harus dipelajari.
c) Pairing, yaitu stimulus yang merupakan gabungan dari primary reinforcement dan secondary reinforcement. Dengan kata lain, ada dua penghargaan sekaligus yang diberikan kepada individu.
c. Punishment (hukuman). Punishment adalah stimulus tidak menyenangkan yang akan menurunkan terjadinya perilaku (McCown, dkk., 1996). Beberapa perilaku memerlukan suatu perubahan yang sifatnya segera. Perubahan ini memerlukan suatu tindakan yang terkadang membuat individu merasa terancam secara fisik dan psikis. Hukuman adalah sesuatu yang mempresentasikan suatu stimulus baru, yang bagi individu dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan.
Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman fisik dan psikis. Beberapa format hukuman yang efektif dalam mengurangi perilaku yang bermasalah adalah:
a. Secara Verbal, yang dapat lebih efektif ketika disampaikan saat itu juga, dekat dengan perilaku yang tidak diinginkan, serta dilakukan tidak secara emosional.
b. Secara Non Verbal, misalnya kontak mata atau muka merengut.
Dari dua prinsip dasar operant conditioning tersebut, reinforcement dianggap memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam membentuk perilaku yang diinginkan. Namun, reinforcement sebaiknya diberikan berdasarkan suatu aturan tertentu.


BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respon pelajar terhadap rangsangan. Behaviorisme ini lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar dan tidak tampak).
Menurut teori behaviorisme, manusia sepenuhnya adalah makhluk kreatif, yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang berasal dari luar. Gagasan utama dalam behaviorisme ini adalah bahwa untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan pendekatan  yang objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian.
Hakikat dari teori Behaviorisme ialah bagaimana individu menjadi tingkah laku baru, menjadi lebih trampil, menjadi lebih tau.


[1] Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan. (Bandung : PT Rosda Karya Remaja,2003), hal 31
[2]Jalaluddin Rakhamat, PsikologiKomunikasi (Bandung:  RemajaRosdakarya, 2012) ,hal.  20.
[3] Akhmad Sudrajat, Perilaku Individ, (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/author/akhmadsudrajat/), 11 Februari 2008, diakses 10 September 2014
[4] Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2011), hal322
[5] Alwisol, Psikologi Kepribadian, ibid............ hal 326


Tidak ada komentar:

Posting Komentar