BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dua dekade terakhir di Inggris dan Eropa, profesionalisai konselingtelah
mendapat peningkatan perhatian dalam penyediaan pelatihan dan supervisi. Di Amerika Utara sebagian besar proses ini
terjadi pada tahun 1950-an.
Terlepas dari tumbuhnya jumlah pendidikan,
relatif sedikit riset yang dilaksanakan untuk menyokong peserta pendidikan
konseling dan tutornya dalam kinerja mereka. Akan tetapi, pendidikan konselor
tetap menjadi area tertinggal untuk riset dan pembelajaran. Bahkan pengetahuan
yang didapat pelatih dan pengajar dari pengalaman pribadi maupun professional jarang sekali ditulis.
Terdapat beberapa materi dan model pendekatan yang dilakukan dalam
pendidikan konselor.Dalam pendidikan konseling juga sangat diperlukan
supervisi, sehingga pekerjaan konselor dapat berjalan secara efektif.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kecenderungan historis dalam pendidikan konselor?
2. Apa
saja elemen kunci dalam pendidikan konselor?
3. Apa
saja isu dan dilema dalam pendidikan konselor?
4. Apa
pengertian supervisi dalam pendidikan konselor?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui kecenderungan historis dalam pendidikan konselor.
2. Untuk
mengetahui elemen kunci dalam pendidikan konselor.
3. Untuk
mengetahui isu dan dilema dalam pendidikan konselor.
4. Untuk
mengetahui supervisi dalam pendidikan konselor.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kecenderungan Historis dalam Pendidikan Konselor
Berbicara
tentang pendidikan konselor, tidak akan terlepas dari pendidikan psikoterapi
dan psikoanalisis. Media pendidikan utama bagi psikoanalisis adalah pendidikan
analisis.Pada masa pelatihan, mereka dapat melaksanakan latihan analisis dengan
satu atau lebih analis. Pendidikan analisis dianggap sebagai satu-satunya cara di mana para analis dapat belajar tentang
psikoanalisis dalam arti yang sebenarnya, meskipun pada akhirnya
seminar-seminar teoretis, diskusi kasus, dan observasi anak ditambahkan dalam
program pendidikan psikoanalitik pada banyak institut.
Selanjutnya, munculnya terapi client
centred pada tahun 1940 dan 1950-an, juga memberikan serangkaian ide
tentang bagaimana cara melatih seorang konselor. Terapi client centred merupakanterapiyang bertujuan untukmencapai kemandirian dan integrasi diri. Selain itu terapi client centred bertujuan untuk
membantu klien menemukan
konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, dimana konselor
mendudukan klien sebagai orang
yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif
dengan penerimaan tanpa syarat (unconditional person regard) yaitu
menerima klien apa adanya.[1]
Berdasarkan terapi client centredtersebut, para siswa mempraktikkan
keterampilan konseling kepada orang lain. Kemudian para siswa juga diajak untuk
menonton sebuah rekaman dan menganalisisnya. Fase perkembangan pendekatan
pendidikan konselor ini menghadirkan pendekatan yang lebih terbuka dan
multisisi terhadap teknik pembelajarannya.
Sepanjang tahun 1960 dan 1970-an, inovasi
utama dalam pendidikan konselor terdiri dari pengenalan pendidikan keterampilan
terstruktur. Pendidikan keterampilan terstrukur ini tidak hanya digunakan dalam
pendidikan konselor saja, akan tetapi juga digunakan dalam konteks pendidikan
keterampilan yang didesain untuk memberikan pertolongan ataupun pelayanan
seperti guru dan perawat. Semua model dalam pendidikan terstruktur ini
mengandung materi pendidikan yang terstruktur dengan hati-hati, baik dalam
bentuk handout, latihan, dan video demonstrasi yang akan membawa peserta
pelatihan melalui program standar untuk mempelajari keterampilan konseling
tertentu. Dan perkembangan terbaru dalam pendidikan konselor adalah lebih
banyak memerhatikan peran supervisi dan terapi personal dalam program
pendidikan.[2]
B. Elemen Kunci dalam Pendidikan Konselor
Munculnya
berbagai ide serta pendekatan yang digunakan dalam pendidikan konselor, sangat
berpengaruh terhadap elemen apa saja yang harus disajikan di dalam pendidikan
konselor tersebut.Dari beberapa elemen yang ada, terkadang terdapat suatu
elemen yang lebih ditekankan daripada yang lainnya. Berikut merupakan
elemen-elemen yang setidaknya terdapat dalam pendidikan konselor:[3]
1. Kerangka
Teoritis
Pendidikan konselor harus dilengkapi dengan
perspektif teoritis sebagai alat untuk memahami cara kerja mereka dalam
menangani klien.Komponen teori dalam pendidikan konselor juga bermacam-macam,
termasuk teori konseling, teori sosiologi dasar dalam bidang psikologi
perkembangan, perilaku interpersonal, dan lain sebagainya. Akan tetapi terdapat
tantangan dalam pembelajaran teoritis ini, karena sudah menjadi kesadaran umum
bahwa seseorang itu tidak cukup hanya dengan mengetahui tentang teori, tetapi
juga harus mampu mengaplikasikannya dalam sebuah praktik, sehingga teori yang
sudah dipelajari dapat digunakan untuk memahami dan menangani sang klien dengan
baik.
2. Keterampilan
Konseling
Konsep keterampilan konseling yang diajarkan mengacu
pada serangkaian perilaku konselor yang dilakukan untuk merespons perilaku sang
klien. Terdapat sejumlah keterampilan konseling yang dikembangkan.[4]
Dan tiga pendekatan yang paling banyak digunakan adalah:
a. Pendekatan
Human Resource Development
b. Pendekatan
Microcounselling
c. Pendekatan
Interpersonal Process Recall
Keterampilan dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor
agar tujuan tahapan konseling ini dapat tercapai adalah:
a. Mengubah
keragu-raguan klien dengan mengembangkan tata ormasi dan iklim hubungan
konseling awal.
b. Penstrukturan
konseling, terutama bilamana klien datang bukan atas inisiatif sendiri, tetapi
atas permintaan orang tua, guru, wali kelas atau kepala sekolah.
c. Mengumpulkan
informasi tentang klien dengan mendasarkan pada bobot masalah yang dihadapi
oleh klien dan bantuan yang dibutuhkan/diperlukannya.
d. Penampilan
dalam pertemuan awal, dalam arti penampilan konselor dalam menerima kehadiran
klien serta menciptakan iklim komunikasi yang menyenangkan klien.
e. Attentif/attending
behavior, untuk menciptakan suasana tenteram dan klien merasa dihargai,
diterima, dan diperhatikan
f. Bertanya,
agar konseling dapat belangsung. Bertanya merupakan salah satu keterampilan
dasar konseling utama mengingat bahwa konseling dilaksanakan dengan
wawancara atau tanya jawab antara konselor dan klien.
g. Menggunakan
penguat atau dorongan minimal, agar klien secara terbuka dan berlanjut
mengeluarkan/berceritera tentang permasalahan dan apa yang dipikirkan,
dirasakan dan dikehendaki terkait dengan permasalahan yang dihadapi dan harapan
penyelesaiannya.[5]
3. Menangani
Diri
Nilai penting dalam pendidikan konselor adalah
pengetahuan diri serta kesadaran diri pada diri konselor tersebut. Kesadaran
diri sangat dibutuhkan, karena dengan kesadaran diri tersebut memungkinkan
seorang konselor untuk dapat bertahan tanpa harus mengalami terlebih dahulu
masalah-masalah yang dihadapi sang klien. Di samping itu, dengan kesadaran
diri, seorang konselor dapat membagi rasa tsakit, takut, dan putus asa sang
klien dengan rasa empati yang telah ia berikan.
Ketika seorang klien mengadu tentang masalahnya
kepada orang biasa (bukan konselor), kebanyakan mereka menolak penderitaan
emosional batin yang diceritakan kepada mereka. Sebagai konselor yang baik dan
kompeten, tidak bisa melakukan penolakan tersebut, akan tetapi harus mencari
cara agar bisa merasa larut dalam kepedihan sang klien dan selalu memberikan
motivasi kepada klien agar bisa segera lepas atau bangkit dari kepedihan
tersebut.
Pendidikan konseling yang terpengaruh oleh
pendekatan psikodinamik beranggapan bahwa dalam dunia pendidikan konselor harus
diadakan terapi personal.alasan yang mendasari diadakannya terapi personal
tersebut adalah karena terapi personal dapat memberikan pengalamn dan
memungkinkan observasi langsung terhadap terapis yang sedang berlangsung.
Selain itu, dengan pengalaman terapi personal dalam pendidikan, dapat membantu
meyakinkan sentralitas penerimaan terhadap klien. Sebab, konseling merupakan
proses pembelajaran tempat di mana konselor dan sang klien saling
berpartisipasi.
Pendekatan lain dalam menangani diri yang sering
disertakan dalam banyak pendidikan adalah kerja eksperemensial dalam kelompok.
Bekerja dalam suatu kelompok yang kecil juga memungkinkan konselor untuk
mengidentifikasikan serta menjelaskan nilai yang menginformasikan pendekatan
mereka terhadap klien.
Catatan dan jurnal pembelajaran personal juga
digunakan dalam beberapa pendidikan untuk memfatilisasi pembelajaran personal
dan untuk menyimpan aplikasi pembelajaran dalam praktik. Catatan maupun jurnal
tersebut sangat membantu transfer pembelajaran dan pemahaman di balik
pendidikan itu sendiri ke dalam kehidupan peserta didik.
4. Isu
Profesional
Pendidikan konselor juga harus memberikan perhatian
yang banyak terhadap berbagai isu professional yang ada.Prinsip praktik etika
biasanya memperoleh perhatian substansial dalam pendidikan, dan sebagian besar
dilakukan melalui pembahasan kasus. Isu lain yang terkandung di dalamnya adalah
tentang kekuasaan dan diskriminasi dalam konseling.
5. Praktik
Supervisi
Pada suatu saat, para peserta didik dalam pendidikan
konselor pasti akan dihadapkan dengan klien yang sesungguhnya. Dan sudah
menjadi hal yang mendasar bahwa pesrta didik tersebut harus terlibat dalam
beberapa praktik yang diawasi, untuk memberikan kesempatan kepada mereka
mengaplikasikan ketrampilan konseling beserta konsepnya.
Penyampaian supervisi kepada peserta didik dapat
dilakukan dengan bertemu langsung dengan
supervisor secara individu maupun kelompok.
Terdapat beberapa hambatan yang menyulitkan
pencapaian supervisi yang efektif.Diantaranya adalah rasa cemas serta
ketergantungan yang dirasakan oleh sebagian besar peserta didik ketika pertama
kali dihadapkan dengan klien.Selain itu, para peserta didik cenderung tidak
terbuka dengan supervisor mereka, padahal para supervisor tersebut sangat
berpengaruh terhadap kelulusan mereka.
C. Isu dan Dilema dalam Pendidikan Konselor
Walaupun
dapat dikatakan bahwa terdapat kesepakatan terhadap bentuk dan outlineumum
pendidikan konselor, akan tetapi konsesus ini seharusnya tidak menutupi fakta
bahwa di sana terdapat banyak dilema dan isu yang harus dipecahkan.Dalam
kerangka isu yang muncul, terdapat dua dilema yang paling umum yaitu masalah
keseimbangan dan waktu.
Dalam pendidikan konselor selalu
terdapat pilihan sulit yang harus dibuat sehubungan dengan seberapa banyak
penekan yang harus diberikan pada elemen pendidikan tertentu dibandingkan
dengan elemen-elemen pendidikan yang lain. Dilema lain yang berhubungan dengan
waktu adalah proses pengembangan konselor membutuhkan waktu yang banyak, karena
untuk menjadi konselor yang kompeten harus mampu memadukan antara teori dan
keterampilan konseling yang telah mereka pelajari.[6]
Mengenai isu yang harus
diperhatikan dalam pendidikan konselor diantaranya adalah:
1.
Pemilihan Pelatih
Tidak banyak riset yang
berhubungan dengan seleksi pelamar untuk menjadi pengajar dalam sebuah lembaga
pendidikan konseling dan psikoterapi.Banyak lembaga pendidikan yang hanya
sekedar mewawancarai para pelamar tersebut, dan wawancara yang dilakukan
cenderung tidak terstruktur, sehingga hasil yang diperoleh tidak cukup baik.
Seiring dengan berjalannya waktu, seleksi yang
dilakukan tidak lagi dengan sekedar mewawancarai dan dilakukan dalam waktu yang
relatif singkat. Para pelamar harus melalui prosedur penilaian, dimana mereka
diwawancarai dengan beragam topik oleh beberapa orang berbeda, diobservasi
dalam sebuah kelompok diskusi, mereka juga diminta untuk menyelesaikan tes yang
berhubungan dengan personalitas, kecerdasan, dan tak lupa tentang kemampuan
konselingnya. Prosedur ini membuat seelektor mempunyai rentang indikator
potensi konseling, sehingga bisa lebih diandalkan kevalidannya dibandingkan
dengan wawancara kilat biasa.
2.
Penilaian Terhadap Kompetensi Konselor
Penilaian terhadap kompetensi untuk berpraktik sebagai seorang konselor
menghadirkan serangkaian isu sulit lainnya. Metode yang digunakan oleh lembaga pendidikan
untuk mengukur kompetensi konselor, memiliki implikasi penting bagi kualitas
servis yang diterima oleh klien.
Terdapat banyak sumber serta teknik untuk mendapatkan informasi yang
digunakan dalam lembaga pendidikan. Informasi yang berhubungan dengan
kompetensi seorang konselor dalam pendidikannya dapat dikumpulkan dari para
pelatih, supervisor, maupun para pengujinya. Di samping itu, teman dekat juga
dapat dijadikan sumber penilaian, karena sering kali para siswa dalam suatu
lembaga pendidikan menjadi klien bagi siswa yang lain.
Teknik yang digunakan untuk mendapat informasi tentang keterampilan dan
kompetensi seorang konselor juga beragam, yang paling sering digunakan adalah:
a.
Kuesioner dan skala perangkat
Meski kuesioner terlihat mengukur karakteristik
konselor yang relevan seperti rasa empati, akan tetapi tidak terdapat data yang
valid untuk mengukur seberapa tinggi sebuah nilai akan dinyatakan “cukup baik”.
b.
Rekaman video atau kaset ketika
menghadapi klien
Penggunaan rekaman dalam penilaian konselor mempunyai
beberapa masalah, termasuk sadarnya peserta didik bahwa dirinya sedang direkam,
kurangnya informasi proses internal, dan pertanyaan apakah rekaman yang singkat
dapat merepresentasikan pendekatan konselor secara umum.
c.
Mempelajari jurnal atau diari
Mempelajari jurnal sering digunakan untuk mengevaluasi
perkembangan peserta didik serta aplikasi pembelajaran dalam sebuah praktik.
Akan tetapi jurnal hanya dapat mempresentasikan pandangan siswa, dan tidak
semua peserta didik mempunyai keterampilan menulis, sehingga tidak adil jika
penilaian dilakukan melalui media ini.
d.
Melakukan ujian dan tes
Ujian dan tes sudah digunakan pada hampir semua
lembaga pendidikan, apalagi pada lembaga pendidikan yang sudah baku. Akan
tetapi teknik ini hanya menilai pengetahuan kognitif saja, yang bisa atau tidak
bisa diasosiasikan dengan efektivitas klien.
e.
Simulasi komputer
Simulasi komputer tentang pola masalah klien yang
digunakan untuk menilai keterampilan konselor dalam peembuatan keputusan klinik
dan formulasi kasus.
D. Supervisi dalam Pendidikan Konselor
Secara etimologi supervisi berasal dari kata “super” dan “visi”
yang mengandung arti melihat, meninjau serta menilai.Sedangkan secara
Terminologi supervisi adalah bantuan berbentuk pembinaan yang diberikan kepada seluruh
staf sekolah untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik.Sedangkan
supervisi dalam pendidikan konselor dapat diartikan sebagai suatu aktivitas
pembinaan yang direncanakan untuk membantu seorang konselor dalam melaksanakan
pekerjaannya agar bisa berjalan secara efektif.[7]
Supervisi adalah salah satu elemen penting dalam perkembangan
konselor.Supervisi dalam konseling bukan semata-mata peran manajemen, dimana
seorang pengawas memberikan direksi dan mengalokasikan tugas, akan tetapi supervisi
bertujuan untuk membantu seorang konselor untuk menangani pasiennya secara
profesional dan seefektif mungkin.Supervisi bimbingan dan koseling
merupakan satu relasi antara supervisor dan konselor (supervisee) dimana
supervisor (konselor senior) memberi dukungan dan bantuan untuk meningkatkan
mutu kinerja profesional supervisee. titik pada satu prinsip yang mengakui
setiap manusia itu mempunyai potensi untuk berkembang.[8]
Menurut Hawkins dan Shohet (1989) fungsi utama supervisi dalam
konseling ada tiga :
1.
Edukasional
Bertujuan memberikan kesempatan bagi seorang konselor untuk
mengembangkan pemahaman baru dan menerima informasi baru.
2.
Suportivitas
Peran Supervisi
Memberi bantuan berupa dukungan kepada konselor,
di mana ketika menghadapi klien sering mendapatkan tekanan dan kesulitan.
Konselor dapat membagi dilema mereka dan memvalidasi kinerja
kerja merekaketika menghadapi klien.
3.
Dimensi
Manajemen Supervisi
Memastikan kualitas kerja dan membantu seorang konselor untuk
membuat rencana kerja dengan memanfaatkan sumber yang ada.
Ada
beberapa macam format yang berbeda dalam pelaksanaan supervisi.Kesepakatan yang
paling umum adalah membuat kontrak sesi individual selama beberapa waktu dengan
orang yang sama atau bisa juga disebut supervisi inividu. Cara penanganan
pendekatan ini adalah menggunakan konsultan berbeda untuk mengeksplorasi isu
tertentu.keunggulan supervisi individual ini adalah konsultan khusus dapat
memiliki pengalaman yang mendalam dalam bidang tersebut. Dan supervisi
individual reguler ini memfasilitasi perkembangan hubungan kerja yang baik
antara supervisor dan yang diawasi.kemungkinan yang lain adalah supervisi
kelompok, dimana kelompok kecil sebagai subjek supervisi bertemu dengan
supervisor. Salah satunya adalah kelompok supervisi teman sebaya yaitu sebuah
pertemuan kelompok konselor untuk terlibat dalam supervisi antara satu sama
lain, tanpa harus ada pemimpin atau konsultan.Supervisi kelompok memungkinkan
konselor untuk belajar dari kasus dan isu yang dipresentasikan oleh kolega.akan
tetapi, dalam format supervisi kelompok ini terdapat masalah mempertahankan
kerahasiaan dalam dinamika kelompok.pemilihan model supervisi tergantung dari
faktor-faktor tertentu.
Proses
supervisi sangat bergantung pada kualitas informasi yang dibawa oleh pengawas
kedalam setting supervisi. Dryden dan Thorne berpendapat bahwa apabila yang
menjadi objek supervisi adalah keterampilan yang digunakan oleh konselor, maka
pengawas harus mendapatkan data aktual dari sesi.data-data ini bisa diperoleh
dari catatan detail proses yang ditulis setelah sesi. tapi dalam situasi
tertentu, supervisor dapat juga melakukan observasi langsung penanganan klien
yang dilakukan oleh mereka yang diawasi.
Salah
satu permasalahan supervisi yang mendasar adalah menentukan apa yang bermanfaat
untuk didiskusikan. secara potensial, yang diawasi mungkin membutuhkan
eksplorasi terhadap pemahamannya tentang klien, perasaan yang dirasakan sebagai
reaksi terhadap klien, teknik yang berbeda dalam menghadapi masalah klien.
Dalam masalah ini Hawkins dan Shohet membangun model supervisi yang berguna
untuk menjelaskan beberapa isu, antara lain:
1.
Refleksi
terhadap muatan sesi konseling
2.
Eksplorasi
teknik dan strategi yang digunakan oleh konselor
3.
Eksplorasi
hubungan terapeutik
4.
Perasaan
konselor terhadap klien
5.
Apa
yang terjadi antara supervisor dan yang diawasi
6.
Counter-transference
supervisor
Menurut
Hawkins dan Shohet supervisi yang baik akan bergerak diantara semua level
diatas.pendekatan yang dapat melengkapi model supervisi diatas adalah “cyclical
model” .Cyclical model memberikan perhatian khusus pada penciptaan
“ruang reflektif “ sehingga mereka yang diawasi dapat mengeksplorasi dilema
yang muncul dari kerja mereka dan juga tugas krusial atau tugas yang sangat
sulit dalam mengaplikasikan pemahaman supervisi dalam praktik. untuk itu Page
dan Wosket (2001) berpendapat bahwa
kerja supervisi dibagi menjadi lima tahapan yang selalu melingakar:
1.
Membangun
perjanjian
Konselor dan supervisor bernegosiasi tentang berbagai hal seperti
peraturan, batasan, akuntabilitas, ekspektasi mutual, dan karakteristik alamiah
hubungan mereka.
2.
Menyetujui
fokus
Konselor dan supervisor menyetujui masalah yang sudah
teridentifikasi untuk dieksplorasi sebagai tujuan konselor dan yang
diprioritaskan.
3.
Membuat
ruang
Memasuki proses refleksi, eksplorasi, pemahaman dan pengetahuan
berkenaan dengan isu vokal.
4.
“Jembatan”-membuat
hubungan antara supervisi dan praktik
Konsolidasi, setting goal, serta rencana tindakan sebagai
cara untuk memutuskan bagaimana dan apa yang dapat dipelajari dari daerah
konseling.
5.
Ulasan
dan evaluasi
Pengawas dan konselor menilai manfaat penanganan yang telah mereka
lakukan, dan memasuki tahap kontrak kembali.
Model supervisi
Hawkins dan Shohet (1989-2000) serta Page dan Wosket (2001) pada dasarnya fokus
pada apa yang terjadi dalam setting supervisi tunggal.berkenaan dengan cara
tahapan perkembanagan konselor terdapat pula proses dalam supervisi yang
terjadi dalam waktu yang lebih panjang. dengan keragaman tingkatan pengalaman
dan kematangan konselor tentu membutuhkan supervisi yang beragam pula, maka
dari itu sejumlah model telah dikembangkan untuk menggambarkan jalur
perkembangan ini. Salah satudari model tersebut adalah model pengembangan
identitas profesional yang dirancang oleh Friedman dan Kaslow :
1.
Kegembiraan
dan kegelisahan antisipatoris
Fase yang menggambarkan periode sebelum konselor menemui klien
pertamanya.Tugas pengawas dalam fase ini adalah memberikan bimbingan dan
keamanan bagi konselor.
2.
Ketergantungan
dan identifikasi
Fase ini dimulai ketika konselor mulai menangani klien.pada fase
ini konselor biasanya masih merasa tergantung pada pengawas karena mengganggap
pengawas memiliki semua jawaban yang tidak ia ketahui
3.
Aktifitas
dan ketergantungan berkesinambungan
Dalam fase ini konselor mengalami kesadaran bahwa ia bisa
memengaruhi klien
4.
“Hidup”
dan mengambil alih
Fase ke empat ini ditandai dengan kesadaran peserta didik bahwa ia
benar-benar seorang terapis. setelah mendapat cukup banyak pengalaman dalam
menangani klien dan memiliki pengetahuan yang luas terhadap bidangnya seorang
konselor secara aktif mulai membuat koneksi antara teori dan praktik.
5.
Identitas
dan independen
Tahap ini dianggap sebagai tahap kematangan profesional karena
ketika konselor telah mampu mengekspresikan berbagai pilihan yang berbeda.pada
tahap ini konselor sering tertarik menghilangkan supervisi dari orang lain yang
berada dalam tahap yang sama.
6.
Tenang
dan bertanggung jawab
Pada tahap ini konselor telah mendapat pemahaman yang kuat tentang
identitas profesional dan keyakinan aka kompetensinya
Proses yang
terlibat dalam pembentukan identitas profesional memiliki konsekuensi fokus
supervisi yang berbeda dengan tahap sebelumnya.melalui proses supervisi ini
dapat bahwa kualitas supervisi antara pengawas dan yang diawasi sangat penting.
Menurut Charny kemungkinan terbesar dalam pengawasan terdapat pada apa yang
terlintas dalam hati, pikiran, dan tubuh terapis yang berkaitan dengan kasus
yang diberikan. Sebagaimana yang terjadi dalam konseling kebebasan memilih
penolong atau konselor yang tepat.Sensivitas pada isu yang ditemukan dalam
banyak supervisi efektif dapat mengarah pada bahaya terlewatinya batasan yang
memisahkan supervisi dari terapi yang sebenarnya.maka dari itu peran supervisi
dalam pendidikan dan perkembangan konselor sangat erat kaitannya dengan isu
bagaimana dan kapan menstruktur terapi personal konselor atau menangani diri
sendiri.[9]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Lahirnya
pendidikan konselor tidak bisa terlepas dari pendidikan psikoanalisis.
Selanjutnya ide untuk melatih para konselor terbantu dengan munculnya terapi client centred. Daninovasi utama dalam pendidikan konselor terdiri
dari pengenalan pendidikan keterampilan terstruktur.
2. Elemen-elemen
yang biasa terdapat dalam pendidikan konselor adalah:
a. Kerangka
Teoritis
b. Keterampilan
Konseling
c. Menangani
Diri
d. Isu
Profesional
e. Praktik
Supervisi
3. Terdapat
dua dilema yang paling umum dalam pendidikan
konselor yaitu masalah keseimbangandan waktu.Mengenai isu yang harus diperhatikan
dalam pendidikan konselor diantaranya adalah:
a.
Pemilihan Pelatih
b.
Penilaian Terhadap Kompetensi
Konselor
4.
Secara
etimologi supervisi berasal dari kata “super” dan “visi” yang mengandung arti
melihat, meninjau serta menilai. Supervisi dalam pendidikan konselor dapat
diartikan sebagai suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu
seorang konselor dalam melaksanakan pekerjaannya agar bisa berjalan secara
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
McLEOD, John, (2010).Pengantar
Konseling “teori dan kasus”, cet.3,
(Jakarta: Kencana
_____, (2013).Tahapan dan Keterampilan
Dasar Konseling, http://himcyoo.wordpress.com. Diakses pada 26 Nopember 2013.
[1] _____ , Model-model Konseling, http://ndesdesi.wordpress.com, 28
April 2013. Diakses pada 23 Nopember 2013.
[2] McLEOD, John, Pengantar Konseling “teori dan kasus”, cet.3, (Jakarta:
Kencana, 2010), hal. 556.
[3] McLEOD, John..., hal. 557.
[5]_____, Tahapan dan Keterampilan Dasar
Konseling, http://himcyoo.wordpress.com, 05 Juni 2013. Diakses pada 26 Nopember 2013.
[6]McLEOD, John..., hal. 564.
[7]_____, Tugas
Supervisi Pendidikan, http://www.slideshare.net, 10 Januari 2013. Diakses pada 26 Nopember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar